Showing posts with label Hadits. Show all posts
Showing posts with label Hadits. Show all posts
Thursday, December 13, 2012

Benarkah al-quran dan Hadits Qudsi Berbeda


  1. ‎Wahyu Al-Quran

Menurut etimologi, wahyu diderifasi dari akar kata awhaa-yuuhii-iiha-an yang ‎artinya memberitahu sesuatu yang samar secara cepat. Adapun pengertian Al-‎Quran secara etimologi terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Dalam ‎kitab Ulum Al-Quran wa al-Hadits disebutkan sedikitnya ada enam pendapat ‎mengenai pengertian Al-Quran dari segi etimologi ini, yaitu ‎:‎

  1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Quran merupakan nama yang ‎independent, tidak diderivasi dari kosakata apapun. Ia merupakan nama ‎yang khusus digunakan untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi ‎Muhammad saw.‎
  2. Menurut Imam al-Farra’ kata Al-Quran diderivasi dari kata benda qarain, ‎bentuk jama’ dari qarinah yang mempunyai arti indikator. Disebut dengan ‎Al-Quran karena sebagian ayatnya menyerupai sebagian ayat yang lain ‎sehingga seakan-akan ia menjadi indikator bagi sebagian ayat yang lain ‎tersebut.‎
  3. Imam al-Asy‘ari dan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa kata Al-‎Quran diderivasi dari masdar qiran yang mempunyai arti bersamaan atau ‎beriringan. Disebut dengan Al-Quran karena surat, ayat, dan huruf yang ‎ada di dalamnya saling beriringan.‎
  4. Imam al-Zajjaj berpendapat bahwa kata Al-Quran diderivasi kata benda ‎qur-u yang mempunyai arti kumpulan. Menurut beliau dinamakan dengan ‎Al-Quran karena mengumpulkan intisari beberapa kitab yang diturunkan ‎sebelum Al-Quran.‎
  5. Menurut al-Lihyani, kata Al-Quran diderivasi dari fi’il qaraa yang ‎mempunyai arti membaca. Oleh karena itu, kata Al-Quran merupakan ‎bentuk masdar yang sinonim dengan kata qira'ah (pendapat yang terakhir ‎ini merupakan pendapat yang paling kuat).
  6. Sebagian ulama mutaakhkhirin sependapat dengan pandangan yang ‎menyatakan bahwa Al-Quran berasal dari kata kerja qara'a yang ‎mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun dengan dalil firman ‎Allah:‎

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di ‎dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (Q. S al-Qiyamah: 17). ‎

Sedangkan Al-Quran secara terminologi adalah firman Allah yang berbahasa ‎Arab, yang dapat melemahkan musuh (al-mu’jiz), diturunkan kepada Nabi ‎Muhammad, ditulis di dalam mushaf, dan ditranformasikan secara tawatur serta ‎membacanya termasuk ibadah.‎

2. ‎Hadis Qudsi
Pengertian hadis adalah sebagaimana penjelasan di atas. Sedangkan kata qudsi ‎yang dinisbahkan kepada al-quds secara etimologi berarti kebersihan dan kesucian. ‎Dengan demikian, hadis qudsi adalah hadis yang dinisbahkan kepada Dzat yang ‎Maha Suci, yaitu Allah swt. Secara terminologis pengertian hadis qudsi terdapat ‎dua versi. (1) Hadis qudsi merupakan kalam Allah Swt (baik dalam substansi ‎maupun struktur bahasanya), dan Nabi hanya sebagai orang yang menyampaikan. ‎‎(2) Hadis qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari perkataan tersebut ‎berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai ‎قال الله تعالى‎. ‎ 
    Dalam hal ini peneliti lebih condong pada pengertian hadis qudsi yang kedua. ‎Dengan alasan untuk membedakan antara Al-Quran dan hadis qudsi dalam proses ‎terjadinya. Contoh hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ‎ra.‎
      روى أبو هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول الله تعالى أنا ‏عند ظن عبدي بي وأنا معه حين يذكرني فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وإن ذكرني ‏في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم (أخرجه البخاري ومسلم في صحيحيهما)‏


        ‎3.‎ Hadis Nabawi
          Menurut istilah hadis Nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi ‎Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun karakter ‎beliau. Contoh hadis Nabawi yang berupa perkataan (qauli) adalah perkataan Nabi ‎Muhammad saw:‎
            إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (اخرجه البخارى ومسلم)‏
              Contoh hadis yang berupa perbuatan (fi'li) ialah‏:‏
                حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ‏عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ ‏لِلصَّلاَةِ (أخرجه البخاري)‏

                    Contoh hadis berupa ketetapan (taqriri) ialah‎‏:‏
                      عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَمْنًا وَأَضُبًّا وَأَقِطًا فَأَكَلَ ‏مِنَ السَّمْنِ وَمِنَ الأَقِطِ وَتَرَكَ الأَضُبَّ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى ‏مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ‎ ‎‏(أخرجه ابو داود واحمد)‏
                        Contoh hadis berupa sifat atau karakter (wasfi) ialah‏:‏
                          كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيلِ وَلاَ بِالْقَصِيرِ حَسَنَ الْجِسْمِ أَسْمَرَ ‏اللَّوْنِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ سَبْطٍ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّ (أخرجه الترمذى)‏
                            Hadis Nabawi dilihat dari proses terjadinya dibagi menjadi dua ‎. Pertama, ‎Tauqifi, yaitu hadis yang kandungan maknanya diterima oleh Rasulullah saw dari ‎wahyu, kemudian beliau menjelaskan kepada manusia dengan redaksi (susunan ‎kata) beliau sendiri. Meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi ‎dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw, sebab kata-‎kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat ‎makna yang diterima dari pihak lain.‎
                              Kedua, taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw menurut ‎pemahamannya terhadap Al-Quran, karena beliau mempunyai tugas menjelaskan ‎Al-Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan perenungan ijtihad ‎beliau. Kesimpulan beliau yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu jika benar, ‎dan bila terdapat kesalahan, turunlah wahyu yang membetulkannya. Dengan ‎demikian berarti hadis Nabawi bukanlah kalam Allah secara pasti. ‎
                                Dari sini, jelaslah bahwa hadis Nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi ‎atau yang taufiqi bersumber dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang ‎Rasul-Nya, "Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang ‎diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya." (An-‎Najm: 3-4).‎
                                  Dari uraian singkat di atas dapat kita ketahui beberapa perbedaan dari ‎ketiganya.‎


                                  Perbedaan antara Al-Quran dengan hadis qudsi adalah sebagai berikut ‎:‎
                                  • ‎Al-Quran secara struktur dan substansi bahasanya berasal dari Allah. Hadis ‎qudsi redaksi bahasanya berasal dari Nabi sedangkan substansi  isinya ‎berasal dari Allah.‎
                                  • ‎Redaksi yang digunakan oleh Nabi pada Al-Quran adalah Allah telah ‎berfirman, sedangkan redaksi dalam hadis qudsi menggunakan kalimat; ‎Allah telah meriwayatkan kepadaku.‎
                                  • ‎Al-Quran merupakan ibadah jika dibaca, sedangkan hadis qudsi tidak ‎demikian.‎
                                  • ‎Al-Quran merupakan mu'jizat sedangkan hadis qudsi tidak.‎
                                  • ‎Al-Quran hanya diturunkan melalui perantara malaikat Jibril, sedangkan ‎hadis qudsi bisa dengan melalui ilham maupun mimpi.

                                  sedangkan Perbedaan antara hadis qudsi dengan hadis nabawi dapat dikatakan jika hadis qudsi ada kaitannya dengan Allah (ada nisbat) meskipun hanya ‎dalam aspek bahasanya. Hal ini berbeda dengan hadis nabawi yang mana ‎substansi maupun bahasanya berasal dari Nabi.‎ ‎ Meskipun demikian bukan ‎berarti apa yang dikatakan oleh Nabi merupakan sesuatu yang berasal dari ‎nafsu belaka, akan tetapi mempunyai pengertian hadis nabawi dalam proses ‎terungkapkannya oleh nabi tidak harus menunggu wahyu dari Allah.
                                  READ MORE - Benarkah al-quran dan Hadits Qudsi Berbeda belajar komputer

                                  Hadits Menurut Para Pakar


                                  A.‎ Terminologi Hadis Nabawi
                                  Ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu hadis, sunnah, atsar, dan ‎khabar. Jumhur ulama menyamakan arti hadis dan sunnah, atau dengan kata lain ‎keduanya merupakan kata sinonim (muradif). Hanya saja istilah hadis lebih sering ‎digunakan oleh ulama hadis. Sedangkan ulama ushul fiqh lebih banyak ‎menggunakan istilah sunnah ‎. Nabi sendiri menamakan ucapannya dengan sebutan ‎al-hadis untuk membedakan antara ucapan yang berasal dari beliau sendiri dengan ‎yang lain ‎. Berikut ini uraian dari beberapa istilah di atas: ‎
                                  ‎1.‎ Hadis
                                  Kata hadis secara etimologi (bahasa) berarti al-jadid (baru, antonim kata ‎qadim), al-khabar yang berarti berita dan al-Qarib (dekat). Sedangkan secara ‎terminologi hadis adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter ‎Muhammad Saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi.‎
                                  ‎2.‎ Sunnah
                                  Sunnah secara etimologi adalah perbuatan atau perjalanan yang pernah dilalui ‎baik yang tercela maupun yang terpuji ‎. Sedangkan secara terminologi sunnah ‎mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian ‎sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing ‎. ‎
                                  a.‎ Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, ‎baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut ‎pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam ‎kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi ‎Rasul. Mereka memandang Nabi adalah sosok suri tauladan yang sempurna ‎bagi umat Islam, sehingga dalam pandangan mereka segala sesuatu yang ‎berasal dari Nabi; baik yang ada kaitanya dengan hukum maupun tidak adalah ‎sunnah.‎
                                  b.‎ Ulama usul fiqh memberikan definisi yang hampir sama, namun mereka ‎membatasi sunnah hanya dengan yang bisa dijadikan acuan pengambilan ‎hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai syari’ (pembuat ‎syariat) di samping Allah. Hanya saja ketika ulama usul mengucapkan hadis ‎secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qawliyah. Karena menurut ‎mereka sunnah memiliki arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua ‎hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum. bukan sebatas ucapan saja ‎.‎
                                  c.‎ Ulama fiqh mendefinisikan sunnah dengan suatu hal mendapatkan pahala bila ‎dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka ‎memandang Nabi saw sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan ‎perbuatannya mengandung hukum syara’.‎

                                  ‎3.‎ Khabar dan Atsar ‎
                                  Pengertian khabar dan atsar menurut ulama hadis adalah sama dengan hadis. ‎Namun sebagian ulama berpendapat bahwasannya sesuatu yang berasal dari Nabi ‎adalah hadis. Sedangkan yang berasal dari selain Nabi disebut khabar. Para ‎fuqaha Khurasan menyebut hadis mawquf dengan khabar dan hadis maqthu‘ ‎dengan atsar ‎. ‎
                                  Menurut arti bahasa khabar ialah berita ‎. Jadi, khabar memiliki arti yang ‎hampir sama dengan hadis, karena tahdits (pembicaraan) artinya tidak lain adalah ‎ikhbar (pemberitaan). Secara terminologi khabar  ada beberapa pendapat, di ‎antaranya "hadis yang disandarkan pada sahabat", atau "segala berita yang ‎diterima dari selain dari Nabi". Untuk terminologi khabar, peneliti lebih sepakat ‎dengan definisi yang pertama - sebagaimana juga dikemukakan oleh ulama ‎Khurasan- yaitu khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat (mawquf). Hal ‎ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk membedakan antara ‎khabar dengan hadis atau sunnah ‎. ‎
                                  Secara etimologi atsar berarti bekas atau sisa. Sedangkan secara terminologi ‎ada 2 pendapat; (1). Atsar sinonim dengan hadis (2). Atsar adalah perkataan, ‎tindakan, dan ketetapan sahabat ‎ ‎. Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan ‎arti etimologisnya. Dengan penjelasan, perkataan sahabat merupakan sisa dari ‎sabda Nabi. Oleh karena itu, perkataan sahabat  disebut dengan atsar merupakan ‎hal yang wajar.‎
                                  Dari paparan tentang definisi hadis, sunnah, khabar dan atsar di atas, dapat ‎dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan oleh muhadditsin terkait ‎ruang lingkup dan sumber ke empat definisi tersebut. Hadis atau sunnah ‎memberikan pengertian bahwa rawi mengutip hadis yang disandarkan kepada ‎Rasulullah Saw (marfu‘). Sedangkan khabar tidak hanya mencakup hadis marfu‘ ‎saja tetapi juga mengakomodasi hadis mawquf (rawi hanya bersumber dari sahabat ‎saja tidak sampai pada Rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai ‎tingkatan tabi‘in (maqtu‘) saja. Sedangkan atsar oleh para muhadditsin lebih ‎diidentikkan hanya pada hadis mawquf atau maqtu‘ saja ‎.‎
                                  Untuk memudahkan pengidentifikasian hadis, maka akan lebih mudah apabila ‎istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini ‎dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih ‎dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan akan lebih ‎mempermudah dalam memahami struktur hadis. Sehingga menurut hemat peneliti, ‎hadis dan sunnah dipergunakan adalah untuk hadis marfu‘, khabar untuk hadis ‎mawquf, dan atsar untuk hadis maqthu‘.‎

                                  READ MORE - Hadits Menurut Para Pakar belajar komputer