a. Pengertiannya
kata "الاحاد" ditinjau dari segi etimologi merupakan bentuk plural/jamak dari kata “أحد” yang berarti tunggal, yang berarti diriwayatkan oleh 1 orang perawi. Sedangkan hadits ahad ditinjau dari segi terminologi adalah hadits yang tidak terkumpul padanya beberapa syarat hadits mutawatir. Ada sebagian ulama yang mendifinisikan hadits ahad adalah hadits yang sanadnya syah dan bersambung sampai Nabi, akan tetapi
kandungan haditsnya memberikan pengertian dzanni (praduga) dan tidak sampai pada qath’i (pasti).
kandungan haditsnya memberikan pengertian dzanni (praduga) dan tidak sampai pada qath’i (pasti).
Hadits ahad terbagi menjadi tiga macam: Hadits Masyhur, Hadits ‘Aziz, dan Hadits Gharib.
a) Hadits masyhur
Kata Masyhur secara bahasa memiliki arti terkenal, tersiar, tersebar . Maka hadits masyhur secara etimologi adalah hadits yang sudah terkenal/ populer. Sedangkan hadits mashur ditinjau dari segi terminologinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, serta belum mencapai derajat hadits mutawatir.
Menurut ulama’ fiqih, hadits masyhur memiliki kesamaan arti dengan hadits mustafid, akan tetapi ulama yang lain membedakannya. Jadi suatu hadits dikatakan sama dengan mustafid apabila jumlah perawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqat (tingkatan) pertama sampai pada tingkatan terakhir. Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa hadits masyhur lebih umum dibanding dengan hadits mustafid, sebab jumlah perawi pada setiap tingkatan tidak harus selalu sama banyaknya atau seimbang. Akan tetapi yang menjadi pokok di sini adalah pada thabaqah pertama (sahabat) harus diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir.
Dengan demikian, ada beberapa macam pembagian hadits masyhur, yaitu:
Masyhur dikalangan muhaddisin dan lainnya (golongan ulama tertentu serta orang umum)
...عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ »...
“Rasulullah SAW bersabda: “Orang Islam adalah orang yang selamat dari lidah dan tangannya, dan orang yang hijrah adalah orang yang pergi meninggalkan larangan Allah.”
Hadits di atas disebut juga hadits mustafid, sebab diriwayatkan oleh para perawi yang tidak kurang dari tiga perawi dalam setiap tingkatannya.
Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya mashur dikalangan ahli hadits saja, ahli fiqih saja, ahli tasawuf saja, ahli nahwu saja, dsb.
Hadits yang mashur di kalangan muhaddisin saja:
وَحَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ.
Ulama’ lain selain ahli hadits tidak banyak yang memashurkan hadits di atas. Oleh karena itu, hadits tersebut hanya masyhur dikalangan ahli hadits saja.
Mashur dikalangan orang-orang umum saja.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ شُرَحْبِيلَ حَدَّثَنِى يَعْلَى بْنُ أَبِى يَحْيَى عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُسَيْنٍ عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَلِىٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ ».
Terkait dengan hukumnya, hadits masyhur tidak bisa diklaim sebagai hadits shahih ataupun tidak shahih, karena hadits masyhur ada yang mencapai level shahih, hasan, dhaif, dan bahkan ada yang maudhu’. Namun yang pasti posisi hadits masyhur lebih tinggi dibandingkan hadits ‘aziz dan hadits gharib.
b) Hadits ‘aziz
Kata “العَزِيزُ” secara bahasa memiliki banyak arti, diantaranya adalah yang mahal (berharga), yang dihitung, yang langka (jarang), yang mulia (dimuliakan), yang kuat, yang tercinta, dll. Jadi hadits ‘aziz secara etimologi adalah hadits yang langka (jarang) serta kuat.
Sedangkan ditinjau dari segi terminologinya hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua perawi, walaupun dua perawi tersebut terdapat pada satu thabaqat saja, kemudian setelah itu, banyak orang meriwayatkannya.
Dengan demikian, yang dikatakan hadits ‘aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh 2 perawi pada setiap thabaqatnya, akan tetapi selama pada salah satu thabaqatnya ada 2 perawi, yaitu pada thabaqat pertama (sahabat)-nya, maka dapat dikatakan hadits ‘aziz.
Contoh hadits ‘aziz adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ » .
”...demi dzat yang jiwaku berada pada kuasanya, tidaklah sempurna iman salah seorang diantara kalian, sehingga aku lebih dicintainya daripada ia mencintai, orang tuanya dan anaknya”.
Dalam hadits lain disebutkan:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ح وَحَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ » .
Dalam kedua redaksi tersebut, hadits pertama pada thabaqat pertama diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah, dan pada hadits kedua pada thabaqat pertama diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik. Dengan demikian, pada kedua hadits di atas, diriwayatkan oleh dua perawi pada thabaqat pertamanya.
c) Hadits gharib
Kata “غَرِيْبٌ“ secara bahasa berarti yang aneh, yang tak dikenal, yang asing dsb. Jadi yang dimaksud dengan hadits ghorib secara etimologi adalah hadits yang menyendiri atau yang jauh dari kelompoknya. Sedangkan ditinjau dari segi terminologinya, hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja (thabaqat/tingkatan) penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Penyendirian perawi di sini dapat mengenai personalianya, artinya tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga penyendiriannya dapat mengenai sifat/ keadaan perawi, artinya sifat atau keadaan perawi nya berbeda dengan dengan perawi lain yang meriwayatkan hadits.
Dengan demikian, hadits gharib dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu: gharib mutlak dan gharib nisbi.
Gharib Mutlak, adalah hadits yang penyendiriannya terkait dengan personalianya, dan penyendirian perawi dalam hadits ini harus berpangkal pada ashlus sanad. Contohnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِىُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ »
“Iman itu bercabang-cabang menjadi 60 cabang, dan malu adalah satu cabang dari iman”.
Jadi, hadits tersebut di atas pada tingkatan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abi Hurairah.
Gharib Nisbi, adalah hadits yang penyendiriannya itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu perawi. Penyendirian yang demikian, akan memiliki beberapa kemungkinan, antara lain:
Tentang sifat keadilan dan kedhobitan (ketsiqotan) perawi
Tentang kota tempat tinggal perawi
Tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu.
Apabila penyendiriannya ditinjau dari segi letaknya (di matan atau di sanad), maka terbagi menjadi 3 bagian:
Gharib pada sanad dan matan
Gharib pada sanad saja, sedang matannya tidak
Gharib pada sebagian matannya.
c. Status Hadits Ahad
Pembagian hadits ahad menjadi hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib, adalah dimaksudkan untuk mengetahui secara langsung banyak atau sedikitnya jumlah perawi yang ada pada sanadnya, dan bukan menentukan diterima atau ditolaknya sutau hadits. Sedangkan yang menentukan status hadits diterima atau ditolak adalah pembagian hadits ahad menjadi hadits hadits shahih, hasan, dan dhoif. Dengan demikian, pembagian kepada hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib itu, masing-masing darinya ada yang berstatus shahih, hasan, ataupun dhaif.
Dilalah (indikasi) dari hadits ahad adalah dzanny (dugaan), dan ini berbeda dengan hadits mutawatir yang qhat’i (pasti). Artinya, hadits ahad itu ada kemungkinan dapat diterima dan dapat diimplementasikan atau mungkin tidak dapat diterima dan tidak dapat diimplementasikan. Kondisi yang demikian adalah tergantung pada status hadits ahad tersebut, dikategorikan sebagai hadits shahih, hasan, atau dhaif. dikarenakan keadaaan hadits ahad ini belum dapat dipastikan berasal dari Nabi Muhammad SAW atau tidak. Maka diperlukan kajian lebih lanjut terkait dengan kualitas hadits ahad tersebut.

kriteria dari hadist ahad ni apa gan
ReplyDeletebisa di baca ulang mas
Deletemakasih kunjungannya